BAB I
Pendahuluan
LATAR
BELAKANG MASALAH
Adapun penulis tujuan penulis mengangkat topic tentang system
politik Indonesia era Reformasi (Pasca Orde Baru) ini yaitu untuk mempberikan
informasi pada pembaca keadaan sistem politik Indonesia pada saat . Namun ini
juga sebagai pemahaman tentang sistem pollitik Indonesia dan kinerjanya yang
sangat penting untuk menumbuhkan dan meningkat kan kepedulian serta partisipasi
aktif mereka, sehingga sistem politik Indonesia bisa melayani kepentingan
public secara substansial dan maksimal.
Meskipun
demokrasi telah dibuka secara luas dengan begulirnya proses reformasi, namun
perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum
terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan
rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik,
penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak,
institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi
kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan
yang berlebihan tersebut bersifat konstekstual dan polanya tidak
melembaga,cenderung mengarah pola tindakan anarkis. Tumbuh dan berkembangnya
partai politik dan organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis
dan kecemburuan sosial merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik
yang stabil, transparan dan demokratis.
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakag permasalahan diatas, Adapun masalah
yang diangkat dalam topic ini yaitu mengenai sistem politik Indonesia pada Era
Reformasi(Pasca Orde Baru). Bagaimana keadaan sistem politik di Indonesia dan
fenomena yang menarik pada pasca Orde Baru.
BAB IV
PEMBAHASAN
I. Pembangunan
Politik era Reformasi
Indonesia merupakan bangsa yang besar dan
telah merdeka selama lebih dari 64 tahun. Dalam perjalanannya, Indonesia
mengalami berbagai macam perubahan metode sistem pemerintahan. Mulai dari RIS,
Sistem Parlementer hingga Sistem demokrasi terpimpin. Perubahan sistem
pemerintahan tersebut dianggap sebuah kewajaran karena Indonesia saat itu masih
baru merdeka sehingga masih mencari sistem pemerintahan yang baik untuk
diterapkan. Kemudian pada masa orde baru, pembangunan politik lebih mengarah
kepada pelanggengan kekuasaan atau hegemoni dari
pihak penguasa. Hal tersebut ditandai dengan adanya fusi partai yang diterapkan pada Pemilu tahun 1977. Artinya
Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai Presiden dapat mengurangi ancaman
maupun tekanan dari pihak partai lain selain dari Golkar yang menghalangi dia
untuk terus menjadi Presiden. Buktinya adalah Soeharto dapat menjabat sebagai
Presiden selama 32 tahun.
Akhirnya pada krisis moneter yang dirasakan
Indonesia sejak tahun 1993, munculah sebuah wacana tentang sukses yang dilontarkan oleh Amien Rais untuk
menggulingkan rezim Soeharto. Puncaknya adalah pada Mei 1998, yaitu adanya
tuntutan untuk reformasi dan turunnya Soeharto dari kursi kepemimpinan beserta
kroninya yang dianggap telah membuat Indonesia mencapai puncak krisis yang
paling parah. Sampai pada akhirnya Soeharto
mengundurkan diri karena desakan dari parlemen dan mundurnya beberapa menteri
dari kabinet waktu itu.
Setelah turunnya Soeharto, kembali tumbuh
masalah baru. Presiden berikutnya yaitu B.J Habibie mengumumkan untuk membuka
kran demokrasi selebar-lebarnya yang artinya masyarakat Indonesia bebas untuk
melakukan apapun dalam halnya berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas
yang menunjang untuk dirinya sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara.
Setelah adanya pembukaan kran demokrasi yang luas seperti ini, masyarakat Timor
Leste seakan mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama
ini hanya dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan
pada masa orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste
setelah hasil kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa
ketidakadilan masyarakat Timor Leste.
Penyebab ini yang akhirnya mengakibatkan
rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI. B.J Habibie selaku
kepala negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan kedua belah
pihak. Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan ibu pertiwi.
Hal diatas sedikit banyak mempengaruhi pola
pikir masyarakat Indonesia tentang arti demokrasi yang diterapkan di Indonesia.
Kejadian lepasnya Timor Leste dari NKRI menunjukkan bahwa rapuhnya sistem
demokrasi yang dibangun oleh Indonesia saat itu. Pembangunan nilai demokrasi
yang seharusnya diawali dari pemerintahan saat itu guna menjaga dan
mensosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya tidak menggunakannya dengan benar.
Sampai pada akhirnya berganti Presiden hingga saat ini.
Kebebasan berdemokrasi dan politik membuat Indonesia terjebak dalam sebuah sistem
“demokrasi kebablasan” artinya masyarakat
Indonesia saat ini menjalankan demokrasi yang tidak dibatasi dalam peraturan
dan perundang – undangan. Meskipun ada beberapa UU yang mengatur soal itu,
banyaknya penyimpangan yang mengatasnamakan demokrasi seolah mengalahkan UU
yang dibuat. Demokrasi yang terlalu bebas ini juga menjadikan masalah baru bagi
masyarakat yang taraf hidupnya rendah. Kebebasan berdemokrasi justru membuat
rakyat miskin makin kekurangan karena tidak mempunyai kesempatan yang sama
dalam berdemokrasi selayaknya masyarakat kalangan elit. Adanya kesenjangan
sosial yang cukup jauh ini, menyebabkan timbulnya beberapa macam akibat seperti
vandalism, keberpihakan negara terhadap elit sampai yang terparah adalah
pemotongan hak – hak yang seharusnya diberikan kepada masyarakat miskin.
Timbulnya vandalisme dalam berdemokrasi tidak
lain dan tidak bukan adalah karena ketidakmerataan pembangunan pemerintah yang
berdampak pada kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan dampak iri
terhadap masyarakat yang merasakan pembangunan. Begitu juga dengan keberpihakan
negara pada kaum elit yang seakan menekan rakyat miskin guna memenuhi
kepentingan elit semata seperti kasus penggusuran yang diperuntukkan membangun
perumahan dan gedung – gedung tinggi yang dikuasai oleh para elit. Kebijakan
subsidi juga menjadi sebuah masalah
baru. Adanya pemotongan dana subsidi dari pemerintah daerah juga merupakan
contoh buruk demokrasi yang dikembangkan Indonesia saat ini. Ketika ini terjadi
dan sudah banyak diekspos oleh media, pemerintah hanya diam seribu bahasa.
Tidak ada penindakan dan langkah konkrit dari pemerintah untuk menangani hal
ini.
II. Keadaan
Politik Sekarang dalam era reformasi
Keadaan Dewasa Ini Meskipun sekarang demokrasi
telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi, namun
perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum
terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan
rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik,
penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak,
institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi kebebasan
yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan yang
berlebihan tersebut bersifat kontekstual dan polanya tidak melembaga, cenderung
mengarah pola tindakan anarkis.
Demikian pula dengan potensi kemajemukan
masyarakat Jawa Tengah yang didalammya mengandung benih konflik sosial dan
sara. Kasus-kasus pemilihan pimpinan daerah sampai pemilihan Kepala Desa
memunculkan pertengkaran warga diberbagai daerah menjadi ancaman bagi keutuhan
persatuan serta kesatuan masyarakat. Kondisi ini merupakan tantangan yang perlu
mendapat perhatian dan ditindaklanjuti dengan cepat, tepat serta menyentuh
substansi permasalahannya. Tumbuh dan berkembangnya partai politik dan
organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis dan kecemburuan sosial
merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik yang stabil transparan
dan aemokratis.
Banyaknya kasus yang lebih mengedepankan
kepentingan politik daripada penegakan supremasi hukum dan penghargaan atas hak
asasi manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, merupakan contoh betapa
kerasnya usaha yang harus diperjuangkan dalam mempercepat proses penegakkan
demokrasi yang benar. Oleh karena itu diperlukan karakter budaya politik dan
tingkat pendidikan politik yang representatif dapat menjadi faktor penting
terwujudnya kehidupan demokrasi yang bermartabat.
ProgramPembangunan
Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik Rakyat dan
Pengembangan Sistem Politik Program ini bertujuan menfasilitasi penyelenggaraan
pendidikan politik rakyat dan pengembangan Sistem politik yang dapat
meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban
politiknya dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Kegiatan Program Pembangunan
1. Fasilitasi bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan
untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan kader-kadernya.
2. Fasilitasi pendidikan politik dan pengembangan budaya politik.
3. Fasilitasi terhadap pembenahan secara sistematik kelembagaan,
tata kerja, personil, dan proses yang terjadi baik di tingkat suprastruktur
politik maupun di tingkat infrastruktur politik;
4. Pengembangan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui
penegakan hukum secara adil dan konsisten sebagai cermin pengembangan etika
politik dan budaya politik yang positif – konstruktif.
Peningkatan Peran Lembaga Legislatif Program ini bertujuan untuk
meningkatkan peran lembaga legislatif sebagai institusi politik yang mampu
menjabarkan aspirasi rakyat, terciptanya mekanisme kontrol yang efektif,
mendorong proses demokratisasi serta menciptakan iklim yang mendukung
terwujudnya sikap keterbukaan dan tanggungjawab. Program ini meliputi kegiatan:
1) Peningkatan peran lembaga legislatif
secara proporsional dan lebih peka, inovatif, aspiratif terhadap keinginan
masyarakat;
2) Peningkatan peran lembaga legislatif
dalam menjalankan fungsi kontrol.
Fasilitasi/Dukungan Penyelenggaraan Pemilu 2004 dan Sosialisasi
Sistem Pemilu Program ini bertujuan untuk mendukung peningkatan Penyelenggaraan
pemilihan umum dengan memberikan peran yang lebih efektif kepada organisasi
peserta pemilihan umum, baik dalam perencanaan. pelaksanaan maupun pengawasan
di daerah, serta sosialisasi sistem Pemilu yang telah disepakati kepada
masyarakat.
Program ini meliputi kegiatan:
a. Penyelenggaraan pemilihan umum yang
lebih berkualitas dengan prinsip jujur , adil, langsung, umum, bebas, dan
rahasia;
b. Peningkatan sarana dan prasarana
pemilihan umum yang representatif;
c. Peningkatan infrastruktur komunikasi
dalam mendukung kualitas Penyelenggaraan pemilihan umum.
Etika Politik Era
Reformasi
Salah satu hasil pemikiran Kongres Umat Islam (KUI) adalah
harapan bahwa presiden Indonesia mendatang adalah seorang pria. Tampaknya, itu
harus dicegah menjadi realitas ataupun dorongan untuk menjadi suatu prasyarat,
yang sangat tidak relevan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pemikiran itu berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa.
Orang harus memahami dulu hakikat bernegara di negara ini sebelum berbicara
mengenai presiden. Kita mestinya memahami bagaimana hierarki negara, agama, dan
warga negara. Sebab sudah jelas apa makna di balik pernyataan itu. Tidak hanya
sekadar menjegal seseorang, tapi telah berupaya memaksakan kepentingan kelompok
tertentu.
Ketika dunia sudah demikian mengglobal, ketika harkat martabat
manusia sudah diterima secara internasional karena memang sifatnya yang
universal, kita di sini masih sibuk berkutat memperjuangkannya, malah dengan
adanya pemikiran yang cenderung diskriminatif itu. Maka dibuatlah kebijakan –
kebijakan Otonomi Daerah, yaitu:
1. Kebijakan Otonomi Daerah
Era Reformasi
Dalam era reformasi, pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan
tentang otonomi daerah, yaitu :
a) UU No.22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah.
b) UU No.32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah. UU yang merupakan revisi atas UU yang disebut
pertama.
Dalam perkembangannya, kebijakan otonomi daerah melalui UU No.
22 tahun 1999 dinilai, baik dari segi kebijakan maupun segi implementasinya,
terdapat sejumlah kelemahan Oleh karena itulah kebijakan tersebut mengalami
revisi yang akhirnya menghasilkan UU No.32 tahun 2004.
2. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dari
semua definisi yang ada, secara garis besar ada dua definisi tentang
desentralisasi, yaitu definisi dari segi perspektif administratif dan defenisi
perspektif politik. Disini desentralisasi sesunggguhnya kata lain dari
dekosentrasi.
Dekosentrasi adalah
pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung jawab administrasi dalam suatu
kementrian atau jawatan. Disini tidak ada transfer kewenangan yang nyata,
bawahan hanya menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab
kepada atasannya. Dalam bahasa UU otonomi daerah, dekosentrasi adalah
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Ada beberapa alasan kenapa UU No. 22 tahun 1999 lahir. Hal ini
lahir karena daerah menuntut kebebasan di era keterbukaan politik, juga karena
pemerintah pusat ingin mengatasi masalah disintegrasi yang melanda Indonesia.
Ada beberapa ciri yang menonjol dari UU ini, yaitu:
1) Demokrasi dan demokratisasi.
2) Mendekatkan pemerintah dengan rakyat.
3) Sistim otonomi luas dan nyata.
4) Tidak
menggunakan sistim otonomi yang bertingkat.
5) Penyelenggaraan
tugas pemerintah di daerah dibiayai oleh anggaran belanja dan pendapatan negara
(APBN).
Apabila dikaji secara seksama, tampak jelas bahwa pemerintah
daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi masih setengah hati. Pemerintah
tidak rela dalam memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Hal ini terlihat
jelas dalam pasal 7 (1) UU No. 22 tahun 1999, yang menyatakan bahwa:
”kewenangan daerah mencangkup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanaan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
3. Kebijakan Otonomi Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004
UU
no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, baik dari segi kebijakan maupun
dari aspek implementasi, terdapat sejumlah kelemahan-kelemahan. Dari sisi
kebijakan yang sebagaimana diuraikan sebelumya, mengandung sisi-sisi kelemahan
sehingga memunculkan dampak negatif dalam implementasi otonomi daerah.
Adapun kelemahan-kelemahan itu antara lain :
a. Aspek kelembagaan pemerintah daerah yang menempatkan posisi DPRD yang terlalu dominan.
b Akuntabilitas DPRD kepada publik.
c. Penyediaan layanan dasar yang belum memadai.
d. Munculnya raja-raja kecil didaerah.
e. terjadi primodialisme dalam pengangkatan kepala daerah maupun
jajaran birokrasi. Terjadi konflik dalam perebutan sumber daya daerah.
Karena kelemahan-kelemahan tersebut munculah desakan untuk
merevisi UU No. 22 tahun 1999. Materi UU No. 32 tahun 2004 yang bertujuan
menggantikan UU No.22 tahun 1999 selain memuat soal pilkada, juga memuat materi
tentang pemerintahan daerah, atau orang kerap menyebutnya otonomi daerah.
Perbedaan paling mendasar dari kedua UU tersebut terlihat dari kewenangannya.
Apabila dalam UU no.22/1999 pemerintah daerah memiliki kewenangan bagi semua
urusan pemerintah kecuali yang menjadi urusan pemerintah pusat, kini pada UU
No.32/2004 hal itu tidak terdapat lagi.
BAB V
KESIMPULAN
Selama pasca orde baru, kehidupan politik di tandai dengan
ketidakpastian di tingakat massa, dan konflik politik yang tinggi di tingkat
elit. Oleh karena itu, proses sosialisasi politik merupakan sesuatu yang
tegarap secara baik dan teroganisir. Hal ini di sebabkan karena elit-elit
politik dan elit-elit strategis terjebak dalam proses “adu kekuatan” yang
melibatakan massa. Kasus Pamswakarasa merupakan contoh bagaimana proses
sosialisasa politik kurang. Pada akhirnya, masa yang sebelumnya mengalami
pelemahan daya beli akibat krisis ekonomi pada tahun 1997 akhir, terlibat dalam
blok-blok konflik yang diciptakan para elit, tanpa mereka mengetahui secara
nyata maupun laten, akan maksud politik yang ada di dalamnya. Kasus terpenting
dari hal ini adalah terjadinya berbagai bentrokan Mahasiswa dengan massa dan
aparat. Kasus Trisakti dan Semanggi, setidaknya dapat dianggap sebagai
refrensentasi kan lemahnya sosialisasi pada pasca orde baru.
Meskipun tidaklah selalu mudah untuk memberikan penilaian
terhadap apakah suatu perubahan yang terjadi merupakan suatu silent
revolution ataukah suatu reformasi, tetapi mungki saja penilaian
Nordholt diatas benar atau setidaknya mengandung kebenaran. Revolusi, seperti
kemukakan oleh Huntington, melibatkan perubahan nilai-nilai, struktur social,
lembaga-lebaga politik, kebijakan-kebijakan pemerintah dan kepemimpinan social
politik dalam tempo yang begitu cepat, menyeluruh dan penuh kekerasan. Semakin
uth semua perubahan ini berlangsung maka semakin total revolusi yang
mengikutinya. Sementara itu, Reformai merujuk pada perubahan-perubahan yang
terbatas dalam hal cakupan dan dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan
pranata-pranata politik. Ia mengadung perubahan perubahan yang mengarah pada
persamaan politik, social dan ekonomi yang lebi merata, termasu perluasan peran
serta politik dalam masyrakat dan Negara. Perubahan moderat dalam arah yang
bertentangan lebih tepat disebut sebagai ‘konsolidasi’ di bandingkan dengan
sebagai suatu reformasi.
Meskipun proses bekerjanya sistem politik bisa dimulai dengan melihat proses sosialisasi politik. Dalam pengertian sosiologi, sosialisasi merupakan proses bagaimana anak-anak berkenalan dengan nilai yang dianut masyarakat serta bagaimana mereka peranan-peranan yang akan mereka lakukan bila mereka telah dewasa. Materi yang di tananmkan dengan sendirinya nilia-nilai actual, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta nilai-nilai yang ideal
Meskipun proses bekerjanya sistem politik bisa dimulai dengan melihat proses sosialisasi politik. Dalam pengertian sosiologi, sosialisasi merupakan proses bagaimana anak-anak berkenalan dengan nilai yang dianut masyarakat serta bagaimana mereka peranan-peranan yang akan mereka lakukan bila mereka telah dewasa. Materi yang di tananmkan dengan sendirinya nilia-nilai actual, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta nilai-nilai yang ideal