Selasa, 27 November 2012




BAB I
Pendahuluan

LATAR BELAKANG MASALAH
Adapun penulis tujuan penulis mengangkat topic tentang system politik Indonesia era Reformasi (Pasca Orde Baru) ini yaitu untuk mempberikan informasi pada pembaca keadaan sistem politik Indonesia pada saat . Namun ini juga sebagai pemahaman tentang sistem pollitik Indonesia dan kinerjanya yang sangat penting untuk menumbuhkan dan meningkat kan kepedulian serta partisipasi aktif  mereka, sehingga sistem politik Indonesia bisa melayani kepentingan public secara substansial dan maksimal.
Meskipun demokrasi telah dibuka secara luas dengan begulirnya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik, penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan yang berlebihan tersebut bersifat konstekstual dan polanya tidak melembaga,cenderung mengarah pola tindakan anarkis. Tumbuh dan berkembangnya partai politik dan organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis dan kecemburuan sosial merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik yang stabil, transparan dan demokratis.

BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakag permasalahan diatas, Adapun masalah yang diangkat dalam topic ini yaitu mengenai sistem politik Indonesia pada Era Reformasi(Pasca Orde Baru). Bagaimana keadaan sistem politik di Indonesia dan fenomena yang menarik pada pasca Orde Baru.

BAB IV
PEMBAHASAN
I.                  Pembangunan Politik era Reformasi
Indonesia merupakan bangsa yang besar dan telah merdeka selama lebih dari 64 tahun. Dalam perjalanannya, Indonesia mengalami berbagai macam perubahan metode sistem pemerintahan. Mulai dari RIS, Sistem Parlementer hingga Sistem demokrasi terpimpin. Perubahan sistem pemerintahan tersebut dianggap sebuah kewajaran karena Indonesia saat itu masih baru merdeka sehingga masih mencari sistem pemerintahan yang baik untuk diterapkan. Kemudian pada masa orde baru, pembangunan politik lebih mengarah kepada pelanggengan kekuasaan atau hegemoni dari pihak penguasa. Hal tersebut ditandai dengan adanya fusi partai yang diterapkan pada Pemilu tahun 1977. Artinya Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai Presiden dapat mengurangi ancaman maupun tekanan dari pihak partai lain selain dari Golkar yang menghalangi dia untuk terus menjadi Presiden. Buktinya adalah Soeharto dapat menjabat sebagai Presiden selama 32 tahun.
Akhirnya pada krisis moneter yang dirasakan Indonesia sejak tahun 1993, munculah sebuah wacana tentang sukses yang dilontarkan oleh Amien Rais untuk menggulingkan rezim Soeharto. Puncaknya adalah pada Mei 1998, yaitu adanya tuntutan untuk reformasi dan turunnya Soeharto dari kursi kepemimpinan beserta kroninya yang dianggap telah membuat Indonesia mencapai puncak krisis yang paling parah. Sampai pada akhirnya Soeharto mengundurkan diri karena desakan dari parlemen dan mundurnya beberapa menteri dari kabinet waktu itu.
Setelah turunnya Soeharto, kembali tumbuh masalah baru. Presiden berikutnya yaitu B.J Habibie mengumumkan untuk membuka kran demokrasi selebar-lebarnya yang artinya masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya berbicara, bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya sendiri, masyarakat serta bangsa dan negara. Setelah adanya pembukaan kran demokrasi yang luas seperti ini, masyarakat Timor Leste seakan mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini hanya dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan pada masa orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan masyarakat Timor Leste.
Penyebab ini yang akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste menginginkan untuk lepas dari NKRI. B.J Habibie selaku kepala negara saat itu mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan kedua belah pihak. Timor Leste akhirnya lepas dari pangkuan ibu pertiwi.
Hal diatas sedikit banyak mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia tentang arti demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Kejadian lepasnya Timor Leste dari NKRI menunjukkan bahwa rapuhnya sistem demokrasi yang dibangun oleh Indonesia saat itu. Pembangunan nilai demokrasi yang seharusnya diawali dari pemerintahan saat itu guna menjaga dan mensosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya tidak menggunakannya dengan benar. Sampai pada akhirnya berganti Presiden hingga saat ini.
Kebebasan berdemokrasi dan politik membuat Indonesia terjebak dalam sebuah sistem “demokrasi kebablasan” artinya masyarakat Indonesia saat ini menjalankan demokrasi yang tidak dibatasi dalam peraturan dan perundang – undangan. Meskipun ada beberapa UU yang mengatur soal itu, banyaknya penyimpangan yang mengatasnamakan demokrasi seolah mengalahkan UU yang dibuat. Demokrasi yang terlalu bebas ini juga menjadikan masalah baru bagi masyarakat yang taraf hidupnya rendah. Kebebasan berdemokrasi justru membuat rakyat miskin makin kekurangan karena tidak mempunyai kesempatan yang sama dalam berdemokrasi selayaknya masyarakat kalangan elit. Adanya kesenjangan sosial yang cukup jauh ini, menyebabkan timbulnya beberapa macam akibat seperti vandalism, keberpihakan negara terhadap elit sampai yang terparah adalah pemotongan hak – hak yang seharusnya diberikan kepada masyarakat miskin.
Timbulnya vandalisme dalam berdemokrasi tidak lain dan tidak bukan adalah karena ketidakmerataan pembangunan pemerintah yang berdampak pada kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan dampak iri terhadap masyarakat yang merasakan pembangunan. Begitu juga dengan keberpihakan negara pada kaum elit yang seakan menekan rakyat miskin guna memenuhi kepentingan elit semata seperti kasus penggusuran yang diperuntukkan membangun perumahan dan gedung – gedung tinggi yang dikuasai oleh para elit. Kebijakan subsidi juga menjadi sebuah masalah baru. Adanya pemotongan dana subsidi dari pemerintah daerah juga merupakan contoh buruk demokrasi yang dikembangkan Indonesia saat ini. Ketika ini terjadi dan sudah banyak diekspos oleh media, pemerintah hanya diam seribu bahasa. Tidak ada penindakan dan langkah konkrit dari pemerintah untuk menangani hal ini.
II.               Keadaan Politik Sekarang dalam era reformasi

Keadaan Dewasa Ini Meskipun sekarang demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik, penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan yang berlebihan tersebut bersifat kontekstual dan polanya tidak melembaga, cenderung mengarah pola tindakan anarkis.

Demikian pula dengan potensi kemajemukan masyarakat Jawa Tengah yang didalammya mengandung benih konflik sosial dan sara. Kasus-kasus pemilihan pimpinan daerah sampai pemilihan Kepala Desa memunculkan pertengkaran warga diberbagai daerah menjadi ancaman bagi keutuhan persatuan serta kesatuan masyarakat. Kondisi ini merupakan tantangan yang perlu mendapat perhatian dan ditindaklanjuti dengan cepat, tepat serta menyentuh substansi permasalahannya. Tumbuh dan berkembangnya partai politik dan organisasi massa yang berorientasi penonjolan agama, etnis dan kecemburuan sosial merupakan tantangan pula untuk mewujudkan sistem politik yang stabil transparan dan aemokratis.
Banyaknya kasus yang lebih mengedepankan kepentingan politik daripada penegakan supremasi hukum dan penghargaan atas hak asasi manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, merupakan contoh betapa kerasnya usaha yang harus diperjuangkan dalam mempercepat proses penegakkan demokrasi yang benar. Oleh karena itu diperlukan karakter budaya politik dan tingkat pendidikan politik yang representatif dapat menjadi faktor penting terwujudnya kehidupan demokrasi yang bermartabat.

ProgramPembangunan

Fasilitasi Penyelenggaraan Pendidikan Politik Rakyat dan Pengembangan Sistem Politik Program ini bertujuan menfasilitasi penyelenggaraan pendidikan politik rakyat dan pengembangan Sistem politik yang dapat meningkatkan kesadaran serta pemahaman masyarakat terhadap hak dan kewajiban politiknya dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kegiatan Program Pembangunan

1. Fasilitasi bagi partai politik dan organisasi kemasyarakatan untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan kader-kadernya.
2.  Fasilitasi pendidikan politik dan pengembangan budaya politik.
3. Fasilitasi terhadap pembenahan secara sistematik kelembagaan, tata kerja, personil, dan proses yang terjadi baik di tingkat suprastruktur politik maupun di tingkat infrastruktur politik;
4. Pengembangan pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui penegakan hukum secara adil dan konsisten sebagai cermin pengembangan etika politik dan budaya politik yang positif – konstruktif.

Peningkatan Peran Lembaga Legislatif Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran lembaga legislatif sebagai institusi politik yang mampu menjabarkan aspirasi rakyat, terciptanya mekanisme kontrol yang efektif, mendorong proses demokratisasi serta menciptakan iklim yang mendukung terwujudnya sikap keterbukaan dan tanggungjawab. Program ini meliputi kegiatan:

1)      Peningkatan peran lembaga legislatif secara proporsional dan lebih peka, inovatif, aspiratif terhadap keinginan masyarakat;
2)      Peningkatan peran lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi kontrol.


Fasilitasi/Dukungan Penyelenggaraan Pemilu 2004 dan Sosialisasi Sistem Pemilu Program ini bertujuan untuk mendukung peningkatan Penyelenggaraan pemilihan umum dengan memberikan peran yang lebih efektif kepada organisasi peserta pemilihan umum, baik dalam perencanaan. pelaksanaan maupun pengawasan di daerah, serta sosialisasi sistem Pemilu yang telah disepakati kepada masyarakat.

 Program ini meliputi kegiatan:

a.       Penyelenggaraan pemilihan umum yang lebih berkualitas dengan prinsip jujur , adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia;
b.      Peningkatan sarana dan prasarana pemilihan umum yang representatif;
c.       Peningkatan infrastruktur komunikasi dalam mendukung kualitas Penyelenggaraan pemilihan umum.

Etika Politik Era Reformasi

Salah satu hasil pemikiran Kongres Umat Islam (KUI) adalah harapan bahwa presiden Indonesia mendatang adalah seorang pria. Tampaknya, itu harus dicegah menjadi realitas ataupun dorongan untuk menjadi suatu prasyarat, yang sangat tidak relevan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pemikiran itu berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Orang harus memahami dulu hakikat bernegara di negara ini sebelum berbicara mengenai presiden. Kita mestinya memahami bagaimana hierarki negara, agama, dan warga negara. Sebab sudah jelas apa makna di balik pernyataan itu. Tidak hanya sekadar menjegal seseorang, tapi telah berupaya memaksakan kepentingan kelompok tertentu.
Ketika dunia sudah demikian mengglobal, ketika harkat martabat manusia sudah diterima secara internasional karena memang sifatnya yang universal, kita di sini masih sibuk berkutat memperjuangkannya, malah dengan adanya pemikiran yang cenderung diskriminatif itu. Maka dibuatlah kebijakan – kebijakan Otonomi Daerah, yaitu:

     1.   Kebijakan Otonomi Daerah Era Reformasi

Dalam era reformasi, pemerintah telah mengeluarkan dua kebijakan tentang otonomi daerah, yaitu :
a)      UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
b)      UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. UU yang merupakan revisi atas UU yang disebut pertama.
Dalam perkembangannya, kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 tahun 1999 dinilai, baik dari segi kebijakan maupun segi implementasinya, terdapat sejumlah kelemahan Oleh karena itulah kebijakan tersebut mengalami revisi yang akhirnya menghasilkan UU No.32 tahun 2004.

2. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dari semua definisi yang ada, secara garis besar ada dua definisi tentang desentralisasi, yaitu definisi dari segi perspektif administratif dan defenisi perspektif politik. Disini desentralisasi sesunggguhnya kata lain dari dekosentrasi.

Dekosentrasi adalah pengalihan beberapa kewenangan atas tanggung jawab administrasi dalam suatu kementrian atau jawatan. Disini tidak ada transfer kewenangan yang nyata, bawahan hanya menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya. Dalam bahasa UU otonomi daerah, dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Ada beberapa alasan kenapa UU No. 22 tahun 1999 lahir. Hal ini lahir karena daerah menuntut kebebasan di era keterbukaan politik, juga karena pemerintah pusat ingin mengatasi masalah disintegrasi yang melanda Indonesia.
Ada beberapa ciri yang menonjol dari UU ini, yaitu:
1)      Demokrasi dan demokratisasi.
2)      Mendekatkan pemerintah dengan rakyat.
3)      Sistim otonomi luas dan nyata.
4)      Tidak menggunakan sistim otonomi yang bertingkat.
5)      Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah dibiayai oleh anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN).

Apabila dikaji secara seksama, tampak jelas bahwa pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi masih setengah hati. Pemerintah tidak rela dalam memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Hal ini terlihat jelas dalam pasal 7 (1) UU No. 22 tahun 1999, yang menyatakan bahwa: ”kewenangan daerah mencangkup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanaan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

3.  Kebijakan Otonomi Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004
UU no. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, baik dari segi kebijakan maupun dari aspek implementasi, terdapat sejumlah kelemahan-kelemahan. Dari sisi kebijakan yang sebagaimana diuraikan sebelumya, mengandung sisi-sisi kelemahan sehingga memunculkan dampak negatif dalam implementasi otonomi daerah.

Adapun kelemahan-kelemahan itu antara lain :
a.  Aspek kelembagaan pemerintah daerah yang menempatkan posisi DPRD yang terlalu dominan.
  Akuntabilitas DPRD kepada publik.
c.  Penyediaan layanan dasar yang belum memadai.
d.  Munculnya raja-raja kecil didaerah.
e. terjadi primodialisme dalam pengangkatan kepala daerah maupun jajaran birokrasi. Terjadi konflik dalam perebutan sumber daya daerah.

Karena kelemahan-kelemahan tersebut munculah desakan untuk merevisi UU No. 22 tahun 1999. Materi UU No. 32 tahun 2004 yang bertujuan menggantikan UU No.22 tahun 1999 selain memuat soal pilkada, juga memuat materi tentang pemerintahan daerah, atau orang kerap menyebutnya otonomi daerah. Perbedaan paling mendasar dari kedua UU tersebut terlihat dari kewenangannya. Apabila dalam UU no.22/1999 pemerintah daerah memiliki kewenangan bagi semua urusan pemerintah kecuali yang menjadi urusan pemerintah pusat, kini pada UU No.32/2004 hal itu tidak terdapat lagi.

BAB V
KESIMPULAN

Selama pasca orde baru, kehidupan politik di tandai dengan ketidakpastian di tingakat massa, dan konflik politik yang tinggi di tingkat elit. Oleh karena itu, proses sosialisasi politik merupakan sesuatu yang tegarap secara baik dan teroganisir. Hal ini di sebabkan karena elit-elit politik dan elit-elit strategis terjebak dalam proses “adu kekuatan” yang melibatakan massa. Kasus Pamswakarasa merupakan contoh bagaimana proses sosialisasa politik kurang. Pada akhirnya, masa yang sebelumnya mengalami pelemahan daya beli akibat krisis ekonomi pada tahun 1997 akhir, terlibat dalam blok-blok konflik yang diciptakan para elit, tanpa mereka mengetahui secara nyata maupun laten, akan maksud politik yang ada di dalamnya. Kasus terpenting dari hal ini adalah terjadinya berbagai bentrokan Mahasiswa dengan massa dan aparat. Kasus Trisakti dan Semanggi, setidaknya dapat dianggap sebagai refrensentasi kan lemahnya sosialisasi pada pasca orde baru.
Meskipun tidaklah selalu mudah untuk memberikan penilaian terhadap apakah suatu perubahan yang terjadi merupakan suatu silent revolution ataukah suatu reformasi, tetapi mungki saja penilaian Nordholt diatas benar atau setidaknya mengandung kebenaran. Revolusi, seperti kemukakan oleh Huntington, melibatkan perubahan nilai-nilai, struktur social, lembaga-lebaga politik, kebijakan-kebijakan pemerintah dan kepemimpinan social politik dalam tempo yang begitu cepat, menyeluruh dan penuh kekerasan. Semakin uth semua perubahan ini berlangsung maka semakin total revolusi yang mengikutinya. Sementara itu, Reformai merujuk pada perubahan-perubahan yang terbatas dalam hal cakupan dan dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan pranata-pranata politik. Ia mengadung perubahan perubahan yang mengarah pada persamaan politik, social dan ekonomi yang lebi merata, termasu perluasan peran serta politik dalam masyrakat dan Negara. Perubahan moderat dalam arah yang bertentangan lebih tepat disebut sebagai ‘konsolidasi’ di bandingkan dengan sebagai suatu reformasi.
Meskipun proses bekerjanya sistem politik bisa dimulai dengan melihat proses sosialisasi politik. Dalam pengertian sosiologi, sosialisasi merupakan proses bagaimana anak-anak berkenalan dengan nilai yang dianut masyarakat serta bagaimana mereka peranan-peranan yang akan mereka lakukan bila mereka telah dewasa. Materi yang di tananmkan dengan sendirinya nilia-nilai actual, nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta nilai-nilai yang ideal

DAFTAR PUSTAKA
1. http://tengkumahesakhalid.blogspot.com/2012/05/sistem-politik-indonesia-era-reformasi.html
2. http://moo-selamanya.blogspot.com/2011/04/sistem-politik-era-reformasi.html
3. Kebijakan Otonomi Daerah Era Reformasi, http://jurnal-politik.co.cc.